Tampilkan postingan dengan label Data Breach. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Data Breach. Tampilkan semua postingan

Aksi Baru Contagious Interview: Aktor Korea Utara Gunakan JSON Storage untuk Menyebarkan Malware

Foto oleh <a href="https://unsplash.com/id/@djanmamur?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Mamur Saitbaev</a> di <a href="https://unsplash.com/id/foto/komputer-laptop-yang-duduk-di-atas-meja-kayu-r-BTa--K93U?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>

Kelompok ancaman Korea Utara yang berada di balik kampanye Contagious Interview kembali memodifikasi taktik mereka dengan memanfaatkan layanan JSON storage sebagai tempat penyimpanan dan pengiriman payload berbahaya. Dalam laporan terbaru yang dirilis pada hari Kamis, peneliti NVISO—Bart Parys, Stef Collart, dan Efstratios Lontzetidis mengungkap bahwa para pelaku kini menggunakan layanan seperti JSON Keeper, JSONsilo, dan npoint.io untuk meng-host malware yang disisipkan di dalam proyek kode yang telah ditrojanisasi. Pendekatan ini menjadi bagian dari upaya mereka untuk tetap beroperasi secara terselubung dan melebur dengan lalu lintas normal.

Skema serangan dalam kampanye ini berlangsung melalui pendekatan langsung terhadap target di platform profesional seperti LinkedIn. Para penyerang biasanya menyamar sebagai pihak yang ingin melakukan evaluasi pekerjaan atau kolaborasi proyek. Para korban kemudian diarahkan untuk mengunduh sebuah demo project yang ditempatkan pada platform repositori kode seperti GitHub, GitLab, atau Bitbucket. Di balik proyek tersebut tersembunyi komponen berbahaya yang menjadi pintu masuk serangan berikutnya.

Salah satu proyek yang dianalisis NVISO menunjukkan keberadaan file “server/config/.config.env” yang tampak seperti menyimpan sebuah API key. Namun setelah diperiksa lebih dalam, nilai Base64 tersebut ternyata merupakan URL menuju layanan JSON storage seperti JSON Keeper, tempat payload tahap selanjutnya disimpan dalam format yang telah diobfusikasi. Payload tersebut adalah malware JavaScript yang dikenal sebagai BeaverTail, sebuah komponen berbahaya yang dirancang untuk mengambil data sensitif serta mengeksekusi sebuah backdoor Python bernama InvisibleFerret.

Fungsi InvisibleFerret sebenarnya tidak jauh berbeda dari versi yang pertama kali didokumentasikan oleh Palo Alto Networks pada akhir 2023, tetapi kini terdapat modifikasi penting. Backdoor tersebut telah diperbarui untuk mengambil payload tambahan bernama TsunamiKit dari Pastebin. Penggunaan TsunamiKit sendiri telah disorot oleh ESET sejak September 2025, bersamaan dengan temuan bahwa para pelaku juga menurunkan Tropidoor dan AkdoorTea dalam rangkaian serangan yang sama. Toolkit ini mampu melakukan fingerprinting sistem, mengumpulkan data, serta mengambil payload lanjutan dari sebuah alamat .onion yang saat ini diketahui sudah offline.

Para peneliti NVISO menekankan bahwa aktor di balik Contagious Interview terus memperluas jangkauan mereka dan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Sasaran mereka kini semakin luas, terutama kalangan developer yang dianggap menarik untuk dieksploitasi demi mendapatkan data sensitif dan informasi dompet kripto. Dengan memanfaatkan layanan sah seperti JSON Keeper, JSON Silo, npoint.io, serta platform kode seperti GitLab dan GitHub, kelompok ini berusaha mempertahankan operasi secara stealthy dan menyesuaikan pola serangan agar tetap sulit terdeteksi.

Kampanye Contagious Interview kembali membuktikan bagaimana ancaman siber modern semakin canggih dalam menyamarkan aktivitasnya, terutama melalui penyalahgunaan platform yang umumnya dianggap aman oleh komunitas developer. Praktik semacam ini menegaskan perlunya kewaspadaan tinggi bagi siapa pun yang menerima file proyek dari pihak yang tidak benar-benar dikenal, sekalipun melalui platform profesional.

Google Tangkal Lebih dari 10 Miliar Panggilan dan Pesan Berbahaya Setiap Bulan di Android

Image by <a href="https://pixabay.com/users/qimono-1962238/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=8129781">Arek Socha</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=8129781">Pixabay</a>

Google baru saja mengumumkan keberhasilan besar dalam memperkuat pertahanan terhadap penipuan digital di Android. Menurut raksasa teknologi ini, sistem keamanan yang tertanam di Android mampu melindungi pengguna di seluruh dunia dari lebih dari 10 miliar panggilan dan pesan mencurigakan setiap bulan. Selain itu, lebih dari 100 juta nomor berpotensi berbahaya telah diblokir dari menggunakan layanan Rich Communication Services (RCS) — penerus dari SMS tradisional — sehingga mencegah upaya penipuan bahkan sebelum pesan terkirim ke pengguna.

Dalam beberapa tahun terakhir, Google terus mengembangkan teknologi keamanan untuk melawan penipuan panggilan dan pesan. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan berbasis perangkat (on-device AI), sistem Android kini mampu mendeteksi dan secara otomatis memindahkan pesan berbahaya ke folder “spam & blocked” di aplikasi Google Messages. Inovasi ini juga mencakup fitur tautan aman, yang memperingatkan pengguna ketika mencoba mengakses URL yang ditandai sebagai spam dan mencegah mereka membuka situs berpotensi berbahaya, kecuali jika pesan tersebut secara manual ditandai sebagai “bukan spam.”

Berdasarkan analisis laporan pengguna pada Agustus 2025, penipuan lowongan kerja palsu muncul sebagai jenis penipuan yang paling umum. Para pelaku memanfaatkan kebutuhan kerja masyarakat dengan menawarkan peluang kerja palsu untuk mencuri data pribadi dan finansial korban. Selain itu, Google juga menemukan berbagai bentuk penipuan finansial, seperti tagihan palsu, langganan fiktif, investasi bodong, hingga penipuan pengiriman paket dan penyamaran lembaga pemerintah. Menariknya, tren baru menunjukkan bahwa sebagian pelaku kini mengirim pesan dalam bentuk grup chat, bukan pesan langsung, agar terlihat lebih meyakinkan di mata korban.

Fenomena ini terjadi karena pesan grup sering kali terasa lebih alami dan kurang mencurigakan, terlebih jika pelaku menambahkan rekan mereka sendiri ke dalam grup untuk menciptakan kesan percakapan yang sah. Google juga mencatat bahwa aktivitas pesan berbahaya ini memiliki pola waktu tertentu, biasanya dimulai sekitar pukul 5 pagi waktu Pasifik dan memuncak antara pukul 8 hingga 10 pagi, dengan volume tertinggi pada hari Senin—saat pengguna sibuk memulai minggu kerja dan kurang waspada terhadap pesan masuk.

Sebagian besar kampanye penipuan mengandalkan strategi “Spray and Pray”, yakni mengirim pesan massal dengan harapan sebagian kecil korban akan terpancing. Pesan-pesan ini sering memanfaatkan rasa urgensi dengan topik seperti notifikasi paket, tagihan tol, atau kejadian terkini. Tautan berbahaya dalam pesan tersebut biasanya disamarkan menggunakan URL shortener agar sulit dikenali, lalu mengarahkan korban ke situs berbahaya untuk mencuri data pribadi mereka.

Namun, tidak semua penipuan bergerak cepat. Ada juga metode “Bait and Wait”, di mana pelaku dengan sabar membangun kepercayaan korban melalui percakapan panjang, berpura-pura menjadi perekrut kerja atau teman lama. Dalam skema seperti ini—termasuk romance scam atau “pig butchering”—penjahat siber sering menggunakan data publik seperti nama dan jabatan korban untuk membuat pendekatan mereka lebih meyakinkan. Strategi ini dirancang agar korban mengalami kerugian finansial besar secara perlahan dan sistematis.

Baik menggunakan pendekatan cepat maupun yang lebih halus, tujuannya tetap sama: mencuri uang atau informasi pribadi korban. Data seperti nomor telepon biasanya diperoleh dari dark web marketplaces yang menjual informasi hasil kebocoran data. Operasi semacam ini didukung oleh ekosistem kompleks yang mencakup pemasok perangkat SIM farm untuk pengiriman pesan massal, Phishing-as-a-Service (PhaaS) untuk mencuri kredensial korban, hingga layanan pesan massal pihak ketiga yang menyebarkan tautan berbahaya secara otomatis.

Google menggambarkan lanskap pesan penipuan ini sebagai dinamis dan mudah berubah, di mana para pelaku terus berpindah ke wilayah dengan regulasi terlemah. Ketika satu negara memperketat pengawasan, para penipu dengan cepat beralih ke wilayah lain, menciptakan siklus abadi perpindahan hotspot penipuan di seluruh dunia. Upaya Google untuk memerangi ancaman ini menunjukkan bahwa meski para pelaku terus beradaptasi, teknologi keamanan juga terus berkembang untuk melindungi pengguna Android di mana pun mereka berada.

Smishing Triad: Kampanye Smishing Global Terkait China Serang 194.000 Domain Jahat (Malicious) di Seluruh Dunia

Kampanye Smishing Skala Besar Mengguncang Dunia Siber

Sebuah kampanye smishing global yang sangat masif berhasil diungkap oleh tim riset keamanan dari Palo Alto Networks Unit 42, yang mengidentifikasi lebih dari 194.000 domain berbahaya sejak 1 Januari 2024. Serangan ini menargetkan berbagai layanan di seluruh dunia, menunjukkan koordinasi tingkat tinggi di antara para pelaku ancaman siber.

Menurut laporan peneliti Reethika Ramesh, Zhanhao Chen, Daiping Liu, Chi-Wei Liu, Shehroze Farooqi, dan Moe Ghasemisharif, domain-domain tersebut terdaftar melalui registrar berbasis Hong Kong dan menggunakan nameserver berbahasa Mandarin. Namun, infrastruktur utama serangan justru dihosting pada layanan cloud populer asal Amerika Serikat, seperti Cloudflare.

Smishing Triad: Dari Penipuan SMS ke Ekosistem PhaaS Global

Kampanye ini diatribusikan pada kelompok peretas Smishing Triad, entitas yang memiliki keterkaitan dengan China. Kelompok ini dikenal karena membanjiri ponsel korban dengan pesan SMS palsu berupa pemberitahuan pelanggaran tol atau kesalahan pengiriman paket. Tujuannya jelas — memancing pengguna agar segera bereaksi dan menyerahkan data sensitif mereka.

Keuntungan finansial dari operasi ini sangat besar. Menurut laporan The Wall Street Journal, para pelaku telah menghasilkan lebih dari 1 miliar dolar AS dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, laporan terbaru dari Fortra menyebutkan bahwa kit phishing milik Smishing Triad kini menargetkan akun pialang saham untuk mencuri kredensial perbankan dan kode autentikasi. Serangan terhadap akun-akun ini meningkat lima kali lipat pada kuartal kedua tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Peneliti keamanan Alexis Ober menjelaskan bahwa setelah berhasil membobol akun, pelaku menggunakan taktik manipulasi pasar saham yang disebut “ramp and dump.” Teknik ini meninggalkan jejak yang nyaris tak terlacak, meningkatkan risiko finansial secara signifikan bagi para korban.

Ekosistem Kriminal Terstruktur dalam Model PhaaS

Unit 42 menemukan bahwa Smishing Triad telah berevolusi dari sekadar pembuat phishing kit menjadi komunitas kriminal aktif yang mengintegrasikan berbagai pelaku dalam satu ekosistem Phishing-as-a-Service (PhaaS).

Ekosistem ini terdiri dari berbagai peran penting:

  • Pengembang phishing kit yang merancang template serangan,

  • Broker data yang menjual nomor telepon target,

  • Penyedia domain sementara,

  • Penyedia hosting server,

  • Spammer yang mengirim pesan secara massal,

  • Pemindai nomor aktif (liveness scanner), serta

  • Pemindai blocklist untuk memastikan domain berbahaya tidak terdeteksi terlalu cepat.

Analisis Unit 42 menunjukkan bahwa 93.200 dari 136.933 domain utama (68,06%) terdaftar di bawah Dominet (HK) Limited, registrar asal Hong Kong. Domain dengan akhiran “.com” mendominasi, namun dalam tiga bulan terakhir terjadi peningkatan signifikan pada domain “.gov”.

Siklus Domain Cepat untuk Hindari Deteksi

Dari seluruh domain yang dianalisis, 39.964 (29,19%) aktif hanya selama dua hari atau kurang, dan lebih dari 71% aktif kurang dari seminggu. Sebanyak 82,6% domain hanya bertahan maksimal dua minggu, sementara kurang dari 6% memiliki masa aktif lebih dari tiga bulan.

Menurut Unit 42, tingginya tingkat pergantian domain menunjukkan strategi yang bergantung pada pendaftaran domain baru secara berkelanjutan agar mampu menghindari deteksi sistem keamanan. Total 194.345 nama domain (FQDN) tersebut terhubung dengan sekitar 43.494 alamat IP unik, sebagian besar berada di AS dan dihosting oleh Cloudflare (AS13335).

Layanan yang Paling Sering Ditiru

Penelitian juga menemukan beberapa temuan penting:

  • USPS (U.S. Postal Service) menjadi layanan paling sering ditiru dengan 28.045 domain palsu.

  • Layanan tol dan transportasi merupakan kategori dengan volume serangan tertinggi, dengan sekitar 90.000 domain phishing.

  • Infrastruktur serangan terbesar berada di Amerika Serikat, diikuti oleh China dan Singapura.

  • Serangan juga meniru bank, bursa kripto, layanan pengiriman, kepolisian, perusahaan milik negara, media sosial, hingga e-commerce di Rusia, Polandia, dan Lituania.

Pada serangan yang berpura-pura sebagai layanan pemerintah, korban sering diarahkan ke halaman palsu yang menampilkan tagihan tol atau biaya layanan yang belum dibayar. Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan menggunakan jebakan ClickFix, memancing korban untuk menjalankan kode berbahaya dengan dalih menyelesaikan verifikasi CAPTCHA.


CVE-2025-10725: Celah Kritis di Red Hat OpenShift AI Ancam Infrastruktur Cloud

Celah Keamanan Baru di OpenShift AI

Red Hat baru saja mengumumkan adanya kerentanan serius pada OpenShift AI, platform manajemen siklus hidup model kecerdasan buatan (AI) berskala besar. Layanan ini banyak digunakan untuk menangani alur kerja prediktif dan generatif AI, mulai dari akuisisi data, pelatihan model, fine-tuning, hingga monitoring performa dan akselerasi perangkat keras.

Kerentanan yang terdaftar dengan kode CVE-2025-10725 ini memiliki skor CVSS 9.9 dari 10, menandakan tingkat ancaman yang sangat tinggi. Meski demikian, Red Hat mengklasifikasikan kerentanan ini sebagai “Important” alih-alih “Critical” karena eksploitasi membutuhkan autentikasi. Artinya, seorang penyerang tetap harus memiliki akun sah di dalam lingkungan OpenShift AI untuk dapat melancarkan aksinya.

Bagaimana CVE-2025-10725 Bekerja

Menurut penjelasan resmi Red Hat, seorang pengguna dengan hak akses terbatas — misalnya data scientist yang menggunakan notebook Jupyter standar — dapat memanfaatkan kerentanan ini untuk meningkatkan hak aksesnya menjadi administrator penuh pada kluster. Jika skenario ini terjadi, maka kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan dari seluruh sistem akan sepenuhnya terganggu.

Dampaknya sangat luas. Penyerang bisa mencuri data sensitif yang tersimpan, mengganggu jalannya semua layanan, serta mengambil kendali penuh atas infrastruktur di balik platform. Lebih jauh lagi, aplikasi yang di-hosting pada OpenShift AI juga dapat sepenuhnya disusupi. Hal ini menunjukkan bahwa serangan semacam ini dapat berujung pada total compromise terhadap sistem cloud perusahaan.

Versi OpenShift AI yang Terpengaruh

Berdasarkan laporan Red Hat, beberapa versi OpenShift AI yang terdampak kerentanan ini mencakup:

  • Red Hat OpenShift AI 2.19

  • Red Hat OpenShift AI 2.21

  • Red Hat OpenShift AI (RHOAI)

Ketiga versi tersebut saat ini dianggap berisiko dan memerlukan penerapan mitigasi segera agar tidak dieksploitasi pihak berbahaya.

Mitigasi dan Rekomendasi Red Hat

Untuk mengurangi risiko eksploitasi CVE-2025-10725, Red Hat menyarankan agar pengguna tidak memberikan izin yang terlalu luas pada kelompok sistem-level. Salah satu perhatian utama adalah ClusterRoleBinding yang mengaitkan kueue-batch-user-role dengan system:authenticated group.

Sebagai gantinya, Red Hat menekankan pentingnya penerapan prinsip least privilege. Hak untuk membuat job sebaiknya diberikan secara granular hanya kepada pengguna atau grup tertentu yang memang membutuhkan, bukan secara menyeluruh. Pendekatan ini memastikan bahwa jika ada pengguna yang akunnya disusupi, ruang geraknya tetap terbatas sehingga kerusakan bisa diminimalkan.

Implikasi untuk Dunia Cloud dan AI

Kerentanan CVE-2025-10725 menyoroti betapa pentingnya keamanan pada platform manajemen AI di era cloud. OpenShift AI digunakan secara luas oleh perusahaan untuk mengelola model kecerdasan buatan dalam skala besar, terutama dalam lingkungan hybrid cloud yang kompleks.

Jika celah ini berhasil dieksploitasi, bukan hanya data yang terancam, tetapi juga seluruh infrastruktur cloud yang menopang operasional bisnis. Serangan semacam ini berpotensi menyebabkan downtime layanan kritis, kebocoran informasi sensitif, hingga kerugian finansial dalam jumlah besar. Bagi organisasi yang bergantung pada AI untuk operasi sehari-hari, risiko ini menjadi semakin signifikan.

Lebih jauh lagi, kasus ini kembali mengingatkan komunitas teknologi bahwa keamanan cloud tidak hanya bergantung pada enkripsi data atau autentikasi, tetapi juga pada kontrol akses internal yang ketat. Dalam banyak kasus, penyerang tidak lagi hanya mencoba masuk dari luar, tetapi juga memanfaatkan celah dari dalam dengan memanipulasi akun berizin terbatas.

Celah keamanan CVE-2025-10725 pada Red Hat OpenShift AI adalah pengingat bahwa bahkan platform AI dan cloud yang paling canggih sekalipun tidak kebal dari ancaman siber. Skor CVSS yang hampir sempurna (9.9) menegaskan tingkat bahayanya, meskipun eksploitasi membutuhkan autentikasi.

Organisasi yang menggunakan OpenShift AI, khususnya versi 2.19, 2.21, dan RHOAI, disarankan segera mengikuti pedoman mitigasi yang telah dikeluarkan Red Hat. Mengadopsi prinsip least privilege, memperketat akses, serta memantau aktivitas pengguna adalah langkah krusial untuk meminimalisasi risiko.

Di tengah meningkatnya adopsi AI dan cloud computing, insiden ini menyoroti bahwa keamanan harus menjadi prioritas utama, bukan fitur tambahan. Tanpa langkah pencegahan yang kuat, platform yang dirancang untuk mendukung inovasi justru bisa menjadi pintu masuk bagi serangan yang merusak.

Battering RAM: Serangan Baru Guncang Keamanan CPU Intel dan AMD di Cloud Computing

Image by <a href="https://pixabay.com/users/bru-no-1161770/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4393385">Bruno</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4393385">Pixabay</a>

Battering RAM: Ancaman Baru untuk Keamanan Cloud

Sebuah tim peneliti dari KU Leuven dan University of Birmingham mengungkapkan kerentanan baru bernama Battering RAM yang berhasil menembus lapisan pertahanan terbaru pada prosesor cloud Intel dan AMD. Celah ini menjadi perhatian serius karena memengaruhi sistem yang menggunakan memori DDR4, terutama dalam lingkungan cloud computing yang mengandalkan enkripsi memori untuk menjaga kerahasiaan data.

Dengan menggunakan perangkat interposer sederhana senilai sekitar 50 dolar, para peneliti menunjukkan bagaimana alat ini dapat bekerja secara transparan saat sistem menyala dan melewati semua pemeriksaan kepercayaan. Namun, hanya dengan satu kali saklar, perangkat tersebut bisa berubah menjadi berbahaya dan secara diam-diam mengalihkan alamat memori terlindungi ke lokasi yang dikendalikan penyerang. Teknik ini memungkinkan penyusupan ke area memori terenkripsi tanpa terdeteksi, membuka peluang korupsi data maupun penyisipan kode berbahaya.

Dampak terhadap Intel SGX dan AMD SEV-SNP

Battering RAM terbukti mampu melemahkan dua teknologi keamanan andalan: Intel Software Guard Extensions (SGX) dan AMD Secure Encrypted Virtualization with Secure Nested Paging (SEV-SNP). Kedua fitur ini dirancang untuk melindungi data pengguna dengan memastikan memori tetap terenkripsi bahkan saat digunakan.

Pada platform Intel, serangan ini dapat memberikan akses baca arbitrer ke plaintext korban atau menyisipkan data berbahaya langsung ke enclave. Sementara pada AMD, Battering RAM bisa melewati mitigasi firmware terbaru terhadap celah sebelumnya bernama BadRAM dan memungkinkan penyerang menanamkan backdoor ke dalam mesin virtual tanpa menimbulkan kecurigaan.

Hal ini menimbulkan risiko besar terutama bagi penyedia cloud atau pihak internal dengan akses fisik terbatas. Dengan celah ini, mereka bisa membobol mekanisme remote attestation dan menyusupkan kode berbahaya ke dalam beban kerja yang seharusnya terlindungi.

Keterbatasan Desain Enkripsi Memori

Para peneliti menekankan bahwa serangan ini mengungkap kelemahan mendasar dari desain enkripsi memori berskala besar yang digunakan Intel dan AMD. Demi mendukung ukuran memori yang lebih besar, keduanya mengabaikan pemeriksaan kriptografis terhadap freshness data. Akibatnya, Battering RAM dapat menciptakan alias memori baru secara dinamis saat runtime, melewati pemeriksaan aliasing yang biasanya hanya dilakukan saat booting.

Vendor besar seperti Intel, AMD, dan Arm sudah diberi tahu mengenai temuan ini. Namun, mereka menilai bahwa serangan fisik seperti ini masih dianggap berada di luar cakupan ancaman resmi. Padahal, menurut para peneliti, mitigasi terhadap Battering RAM membutuhkan desain ulang mendasar terhadap sistem enkripsi memori itu sendiri.

Tren Serangan Baru terhadap Keamanan CPU

Temuan Battering RAM muncul di tengah rangkaian laporan mengenai kerentanan baru pada prosesor modern. AMD baru-baru ini mendapat sorotan setelah riset dari University of Toronto (Heracles) dan ETH Zürich (Relocate-Vote) membuktikan adanya kebocoran data pada teknologi SEV-SNP. Penyerang bisa memanfaatkan manipulasi data oleh hypervisor untuk mengungkap pola dalam memori terenkripsi.

Tidak berhenti di situ, ETH Zürich juga menemukan potensi penyalahgunaan fitur stack engine pada prosesor AMD Zen 5 yang dapat dieksploitasi sebagai kanal samping. Sementara itu, VU Amsterdam mengungkap celah L1TF Reloaded, kombinasi teknik L1 Terminal Fault dan Half-Spectre yang dapat membocorkan memori virtual machine di cloud publik.

Belum lama ini, serangan VMScape (CVE-2025-40300) juga diperkenalkan oleh akademisi ETH Zürich. Serangan ini memanfaatkan celah pada prosesor AMD Zen dan Intel Coffee Lake untuk menembus isolasi virtualisasi dan membocorkan memori antarproses.

Implikasi bagi Cloud Computing dan Masa Depan Keamanan

Battering RAM dan rangkaian serangan serupa memperlihatkan tantangan serius dalam menjaga keamanan di era cloud computing. Infrastruktur cloud yang dipercaya menyimpan data sensitif jutaan pengguna kini dihadapkan pada ancaman bahwa perlindungan hardware-level tidaklah mutlak.

Bagi penyedia cloud, temuan ini menegaskan perlunya lapisan keamanan tambahan di luar sekadar mengandalkan enkripsi memori bawaan prosesor. Bagi industri, ini menjadi panggilan untuk meninjau kembali desain arsitektur CPU agar mampu menghadapi ancaman fisik maupun digital dengan lebih tangguh.

Pada akhirnya, Battering RAM bukan hanya serangan teknis, melainkan peringatan bahwa batas keamanan hardware modern masih bisa ditembus dengan cara yang sederhana namun efektif. Dunia komputasi awan kini harus lebih waspada terhadap eksploitasi baru yang terus bermunculan di lini prosesor canggih.

CISA Masukkan Kerentanan Kritis Sudo ke Daftar KEV: Ancaman CVE-2025-32463 untuk Linux dan Unix

Image by <a href="https://pixabay.com/users/mastertux-470906/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1900329">MasterTux</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=1900329">Pixabay</a>

CISA Masukkan Kerentanan Kritis Sudo ke Daftar KEV: Ancaman CVE-2025-32463 untuk Linux dan Unix

Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur Amerika Serikat (CISA) baru-baru ini menambahkan sebuah kerentanan kritis yang memengaruhi utilitas Sudo pada sistem operasi Linux dan Unix-like ke dalam katalog Known Exploited Vulnerabilities (KEV). Penambahan ini dilakukan setelah adanya bukti bahwa celah tersebut telah dieksploitasi secara aktif di dunia maya, menandai ancaman serius bagi para administrator sistem dan organisasi yang mengandalkan Sudo.

Kerentanan yang diberi kode CVE-2025-32463 ini memiliki skor CVSS 9.3 dan memengaruhi semua versi Sudo sebelum 1.9.17p1. Disampaikan oleh peneliti Stratascale, Rich Mirch, pada Juli 2025, celah ini muncul dari “inclusion of functionality from an untrusted control sphere.” CISA menjelaskan bahwa kerentanan ini memungkinkan penyerang lokal memanfaatkan opsi -R (--chroot) Sudo untuk menjalankan perintah arbitrer sebagai root, meskipun pengguna tersebut tidak tercantum dalam file sudoers. Hingga saat ini, detail eksploitasi di dunia nyata maupun identitas aktor di balik serangan belum sepenuhnya terungkap.

Selain CVE-2025-32463, CISA juga menambahkan empat kerentanan lainnya ke katalog KEV yang telah diketahui dieksploitasi aktif. Di antaranya, CVE-2021-21311 pada Adminer yang memungkinkan serangan server-side request forgery untuk mencuri informasi sensitif, dan CVE-2025-20352 pada Cisco IOS dan IOS XE yang menimbulkan risiko overflow buffer di SNMP subsystem. Kerentanan lain termasuk CVE-2025-10035 pada Fortra GoAnywhere MFT yang memungkinkan command injection melalui deserialisasi data yang tidak tepercaya, serta CVE-2025-59689 pada Libraesva Email Security Gateway yang memungkinkan command injection via lampiran email terkompresi.

Mengantisipasi risiko serangan aktif, CISA mengimbau seluruh Federal Civilian Executive Branch (FCEB) yang menggunakan produk terdampak untuk segera menerapkan mitigasi yang diperlukan paling lambat 20 Oktober 2025. Upaya mitigasi ini menjadi penting untuk melindungi jaringan, mencegah eskalasi hak akses, dan menjaga keamanan data kritis organisasi.

Kasus CVE-2025-32463 menekankan pentingnya patching rutin dan pemantauan keamanan proaktif pada sistem Linux dan Unix, terutama bagi organisasi yang mengoperasikan server penting. Dengan eksploitasi yang sudah terjadi di alam nyata, kegagalan untuk segera memperbaiki celah ini dapat membuka jalan bagi serangan lokal dengan potensi eskalasi hak istimewa yang serius, termasuk akses root tidak sah yang dapat menimbulkan kerusakan luas.

Seiring meningkatnya ancaman siber global, organisasi dan administrator sistem perlu menilai risiko celah keamanan kritis secara rutin, mengintegrasikan mekanisme pemantauan ancaman, serta memastikan seluruh patch keamanan diterapkan tanpa penundaan. CVE-2025-32463 adalah pengingat bahwa keamanan sistem bukan sekadar teori, melainkan tindakan proaktif yang mencegah kemungkinan serangan yang dapat mengganggu operasi dan integritas data.

ShadowLeak: Celah Zero-Click di ChatGPT Deep Research Ungkap Data Gmail Pengguna

Image by <a href="https://pixabay.com/users/gabrielle_cc-4448339/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=3070472">gabrielle_cc</a> from <a href="https://pixabay.com//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=3070472">Pixabay</a>

ShadowLeak: Celah Zero-Click di ChatGPT Deep Research yang Mengancam Keamanan Data Gmail

Para peneliti keamanan siber mengungkap adanya kerentanan serius pada fitur Deep Research milik OpenAI ChatGPT. Celah ini memungkinkan pelaku ancaman membocorkan data sensitif dari kotak masuk Gmail hanya dengan satu email berisi instruksi tersembunyi – tanpa memerlukan tindakan apa pun dari pengguna.

Serangan ini diberi nama ShadowLeak oleh tim Radware. Menurut laporan, celah tersebut diungkap secara bertanggung jawab pada 18 Juni 2025 dan baru diperbaiki oleh OpenAI pada awal Agustus 2025. Kasus ini menunjukkan bahwa ancaman keamanan berbasis kecerdasan buatan kini semakin canggih, terlebih pada layanan yang mengintegrasikan koneksi langsung ke data pengguna.

Indirect Prompt Injection Tersembunyi di Balik HTML Email

ShadowLeak memanfaatkan teknik indirect prompt injection yang tersembunyi di dalam HTML email. Melalui trik desain seperti font berukuran sangat kecil, teks putih di atas latar putih, atau tata letak manipulatif, instruksi berbahaya dapat disisipkan tanpa terlihat oleh korban. Meski pengguna tidak melihat perintah tersebut, agen AI tetap membacanya dan mengeksekusinya.

Menurut peneliti keamanan Zvika Babo, Gabi Nakibly, dan Maor Uziel, serangan ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang bergantung pada rendering gambar di sisi klien. ShadowLeak justru mengekstrak data langsung dari infrastruktur cloud OpenAI, sehingga serangan ini tidak terdeteksi oleh sistem pertahanan lokal maupun korporasi.

Fitur Deep Research: Kekuatan yang Jadi Kelemahan

Deep Research sendiri adalah kemampuan agenik yang diperkenalkan OpenAI pada Februari 2025. Fitur ini dirancang untuk melakukan riset multi-tahap di internet agar menghasilkan laporan mendalam. Konsep serupa juga telah diadopsi oleh chatbot populer lain seperti Google Gemini dan Perplexity.

Namun, dalam kasus ShadowLeak, kemampuan ini justru dimanfaatkan untuk tujuan jahat. Pelaku mengirim email yang tampak biasa, padahal menyimpan instruksi tersembunyi yang meminta agen AI mengumpulkan informasi pribadi dari pesan lain di inbox korban dan mengirimkannya ke server eksternal. Saat pengguna meminta Deep Research menganalisis email Gmail mereka, agen pun tanpa sadar mengeksekusi perintah tersebut dan mentransmisikan data dalam format Base64 menggunakan tool browser.open().

Strategi Eksfiltrasi Data Lewat Base64

Radware menjelaskan bahwa mereka berhasil menciptakan prompt yang secara eksplisit menginstruksikan agen AI untuk menggunakan browser.open() menuju URL berbahaya. Mereka juga membingkai instruksi encoding Base64 seolah sebagai langkah pengamanan data sebelum transmisi, sehingga agen tidak menganggapnya sebagai aktivitas mencurigakan.

Meski proof-of-concept ini bergantung pada pengguna yang mengaktifkan integrasi Gmail, para peneliti menegaskan serangan serupa bisa diperluas ke berbagai konektor lain yang didukung ChatGPT. Mulai dari Box, Dropbox, GitHub, Google Drive, HubSpot, Microsoft Outlook, Notion, hingga SharePoint – semua berpotensi menjadi permukaan serangan baru.

Beda dengan AgentFlayer dan EchoLeak


Keunikan ShadowLeak dibanding kerentanan serupa seperti AgentFlayer dan EchoLeak terletak pada proses eksfiltrasi datanya. Jika serangan sebelumnya terjadi di sisi klien, ShadowLeak berlangsung langsung di lingkungan cloud OpenAI, sehingga lebih sulit dideteksi dan memotong mekanisme pertahanan tradisional. Aspek inilah yang menjadikan ShadowLeak jauh lebih berbahaya dibanding indirect prompt injection sebelumnya.

Tantangan Lain: ChatGPT Dipaksa Memecahkan CAPTCHA

Pengungkapan ShadowLeak datang bersamaan dengan temuan lain dari SPLX, platform keamanan AI. Mereka menunjukkan bahwa dengan kombinasi prompt tertentu dan manipulasi konteks, agen ChatGPT dapat digiring untuk memecahkan CAPTCHA berbasis gambar yang seharusnya dirancang untuk memverifikasi manusia.

Peneliti Dorian Schultz menjelaskan, trik ini melibatkan pembukaan percakapan ChatGPT-4o biasa untuk menyusun rencana “memecahkan CAPTCHA palsu”. Selanjutnya percakapan tersebut ditempelkan ke sesi agen baru dengan klaim “ini diskusi sebelumnya”, sehingga model merasa sudah menyetujui tindakan tersebut. Dengan cara itu, agen memecahkan CAPTCHA nyata tanpa resistensi, bahkan menyesuaikan pergerakan kursor agar menyerupai perilaku manusia.

Pentingnya Integritas Konteks dan Red Teaming

Temuan ini menegaskan pentingnya integritas konteks, kebersihan memori (memory hygiene), dan red teaming berkelanjutan pada sistem AI. Tanpa perlindungan yang tepat, model bisa direkayasa untuk menganggap kontrol keamanan sebagai “palsu” dan kemudian melewati pembatasan.

Kasus ShadowLeak dan eksploit CAPTCHA sama-sama menunjukkan bahwa semakin canggihnya AI, semakin besar pula kebutuhan untuk mengaudit dan menguji sistem tersebut secara berkelanjutan agar tetap aman.

Ancaman Siber Baru Menargetkan Platform Salesforce: FBI Keluarkan Peringatan Darurat.

Badan Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) baru-baru ini mengeluarkan peringatan darurat (flash alert) yang memuat indikator kompromi (IoCs) terkait dua kelompok peretas berinisial UNC6040 dan UNC6395. Kedua grup kriminal siber ini aktif dalam serangkaian operasi pencurian data dan pemerasan dengan memanfaatkan celah keamanan dalam platform Salesforce yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan global.

Peringatan dari FBI ini bukanlah tindakan biasa. Ini menandakan adanya ancaman nyata dan terukur yang memerlukan kewaspadaan tinggi, terutama dari organisasi yang mengandalkan ekosistem Salesforce untuk operasional bisnis mereka. Serangan yang dilancarkan oleh kedua kelompok ini menunjukkan kecanggihan dan determinasi yang mengkhawatirkan, dengan teknik akses awal yang berbeda namun sama-sama berdampak fatal.

Kelompok pertama, UNC6395, diidentifikasi sebagai aktor di balik kampanye pencurian data besar-besaran yang menargetkan instance Salesforce pada Agustus 2025. Modus operandi mereka berpusat pada eksploitasi token OAuth yang terkompromi dari aplikasi Salesloft Drift, sebuah chatbot AI populer yang terintegrasi dengan Salesforce.

Sumber masalahnya ternyata bermula dari pelanggaran keamanan yang berlangsung lama. Salesloft, pengembang aplikasi Drift, mengonfirmasi bahwa akun GitHub perusahaan mereka telah dibobol dari bulan Maret hingga Juni 2025. Pembobolan inilah yang memungkinkan para penyerang mendapatkan akses ke kredensial dan token OAuth yang kemudian disalahgunakan untuk menyusup ke Salesforce milik pelanggan Drift.

Menyikapi insiden tersebut, Salesloft mengambil langkah drastis dengan mengisolasi infrastruktur Drift dan sementara waktu menonaktifkan aplikasi chatbot AI-nya. Perusahaan juga sedang dalam proses menerapkan otentikasi multi-faktor baru dan langkah-langkah pengerasan keamanan untuk GitHub. Salesloft secara terbuka menyarankan semua pelanggan Drift untuk memperlakukan semua integrasi dan data yang terkait dengan Drift sebagai sesuatu yang berpotensi telah dikompromikan, menekankan pentingnya audit keamanan menyeluruh.

Sementara UNC6395 memanfaatkan token yang bocor, kelompok kedua, UNC6040, yang aktif sejak Oktober 2024, menggunakan pendekatan yang lebih personal dan manipulatif: vishing (voice phishing). Grup yang diidentifikasi pertama kali oleh Google ini memulai serangannya dengan menelepon karyawan korban dan melakukan rekayasa sosial yang rumit untuk mendapatkan kredensial login.

Yang membedakan UNC6040 adalah kecanggihan teknisnya setelah mendapatkan akses awal. Alih-alih melakukan aksi yang mencolok, mereka diam-diam menggunakan versi modifikasi dari aplikasi resmi Salesforce Data Loader, ditambah dengan skrip Python khusus, untuk menyeduh data secara massal dari portal Salesforce korban. FBI mencatat bahwa para ancaman aktor ini menggunakan kueri API untuk mengeksfiltrasi data dalam volume sangat besar dengan efisien.

Yang lebih mengkhawatirkan, fase pemerasan seringkali terjadi berbulan-bulan setelah pencurian data awal. Korban mungkin tidak menyadari bahwa data mereka telah dicuri sampai tiba-tiba diancam untuk dibocorkan secara publik jika tebusan tidak dibayar.

Fase pemerasan dalam serangan UNC6040 ini diatribusikan oleh Google kepada kelompok lain yang disebut UNC6240, yang secara konsisten mengklaim dirinya sebagai grup ShinyHunters yang terkenal kejam dalam komunikasi pemerasannya. Google juga memperkirakan bahwa ancaman aktor yang menggunakan merek ShinyHunters mungkin akan meningkatkan taktik dengan meluncurkan situs pembocoran data (data leak site/DLS) untuk memberi tekanan lebih besar pada korban.

Namun, perkembangan terbaru justru menunjukkan arah yang seolah-olah berlawanan. Pada 12 September 2025, sebuah kanal Telegram dengan nama "scattered LAPSUS$ hunters 4.0"—

yang diduga merupakan konsolidasi dari grup-grup terkemuka seperti ShinyHunters, Scattered Spider, dan LAPSUS$—

mengumumkan bahwa mereka "mengucapkan selamat tinggal" dan akan "menghilang" karena "tujuan telah terpenuhi".

Para pakar keamanan siber, seperti Sam Rubin dari Unit 42 Consulting, memperingatkan agar komunitas tidak cepat percaya dengan pengumuman "pensiun" ini. Sejarah menunjukkan bahwa kelompok ancaman siber seringkali hanya melakukan rebranding, pecah, dan muncul kembali dengan nama baru. Pengumuman seperti ini bisa jadi hanya strategi untuk mengecoh penegak hukum dan mengurangi sorotan, sementara data yang dicuri tetap dapat muncul di masa depan dan pintu belakang yang tertanam masih mungkin bertahan.